Aku memandang wajah tua itu. Masih seperti dulu, bersemangat, ceria dan yang terpenting di setiap tuturnya adalah doa-doa untukku. Dia menceritakan bagaimana kehidupannya sekarang yang tak jauh berbeda. Kerja kerasnya selama ini, meniti karir sebagai pembantu rumah tangga seolah tak ada hasil. Perempuan itu telah semakin tua, sehingga tak sanggup lagi bekerja rumah tangga. Yang dia lakukan kini adalah memulung sehingga dia bermukim di komunitas pemulung di bilangan Bintaro.
“Saya tidak punya tempat mengadu lagi di sana,” ujarnya lirih seraya menyodorkan lembaran kertas yang berisi tagihan atas tunggakan biaya sekolah anaknya. Aku menatapnya sejenak, seolah tak percaya dengan ucapan yang keluar dari mulut tuanya. “Semenjak Ibu pindah rumah, hidup saya pun luntang-lantung, tidak ada yang peduli.” Kalimatnya meluncur bergetar. Ada kesedihan yang berusaha dikendalikannya. Tapi akhirnya, Ibu itupun tidak tahan untuk tidak menangis.
“Tolong saya Bu, Iwan harus melanjutkan sekolah,” pintanya di sela-sela isak tangisnya.
Iwan adalah anaknya. Bahkan saya tidak mengenal nama Ibu tua itu, hanya mengenalnya dengan sebutan Ibu Iwan. Empat tahun silam, saya berdomisili di Kampung Utan – Ciputat, berdekatan dengan kehidupan Iwan dan keluarganya. Saat itu, Iwan adalah anak asuh saya. Apapun masalah sekolahnya, atas izin Allah dapat kami atasi. Tapi sama sekali aku tidak menduga bahwa setelah aku pindah ke Bekasi, Iwan tidak menemukan orang tua asuh yang lain.
Aku menarik nafas. Memandang wajah tua itu yang terlihat lelah. Tidak sedikit jarak yang ditempuhnya untuk menjumpaiku. Dari Bintaro (provinsi Banten) ke Bekasi (provinsi Jawa Barat) melalui DKI Jakarta, luar biasa! Demi memperjuangkan pendidikan anaknya.
“Untuk ongkos ke sini, saya meminjam uang ke tetangga, Bu. Saya rindu sama Ibu, saya harus menyelamatkan sekolah Iwan.” Suaranya sendu.
Aku tidak dapat berkomentar apapun. Bila yang berada di hadapanku adalah seorang yang berpendidikan, tentu aku akan melarangnya jauh-jauh mengunjungiku . Cukup dengan telepon, masalah bisa selesai. Biaya yang dikeluarkannya untuk ke rumahku, sama dengan penghasilannya satu minggu. Agghh!!
Seperti biasa, aku lalu menenangkannya. “InsyaAllah, selalu ada rejeki. Ibu jangan khawatir, saya akan menghubungi pimpinan sekolah Iwan dan akan membantu meringankan beban ini”.
“Terimakasih Bu, terimakasih.” Mata tua itu banjir air mata. “Allah yang membalas ya Bu, Allah yang membalas.” Lirihnya berkali-kali. Aku hanya menatapnya haru. Beberapa saat, aku biarkan dia terisak meluapkan perasaannya.
Peristiwa ini terjadi tahun 2010. Akupun sudah tidak ingat kapan persisnya. Namun suatu keajaiban besar terjadi dalam hidupku. Di pertengahan 2011, atas izin Allah aku mendapatkan Beasiswa Unggulan dari Kemendiknas untuk melanjutkan pendidikan Strata II di Universitas Negeri Jakarta. Jumlah beasiswa itupun jauh melebihi apa yang pernah aku beri selama ini untuk anak-anak asuhku. Aku berpikir, ini sungguh menakjubkan, karena statusku bukanlah wanita karir yang sarat prestasi.
Ada seuntai doa yang senantiasa terngiang – ngiang di telingaku. Doa Ibu Iwan, “Allah yang membalas ya Bu, Allah yang membalas.”
Agghhh. Bu Iwan, tahukah kamu, sekarang Allah telah mengabulkan salah satu doa’mu. Dia telah memberi balasan istimewa untukku. Sungguh disisi Allah, sedikit kebaikanpun tidak pernah sia-sia.