Share
Salah cotok malantiangkan
Salah makan mamuntahkan
Artinya kesalahan yang diperbuat seseorang dapat diuperbaikinya kembali sebelum hukuman dijatuhkan kepadanya. Akhirnya undang-undang Tariak Baleh ini terjadi lagi perubahan yaitu Undang-Undang Duo Puluah yang diberlakukan di seluruh Minangkabau baik di Lareh Koto Piliang maupun Lareh Bodi Caniago yang mana sampai sekarang masih berfungsi sebagai hukum adat di nagari-nagari pada saat sekarang.
Yang dapat kita ambil kesimpulan adalah bahwa semasa Datuk Katumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang betul-betul telah mereka susun adat Minangkabau yang nenjadi pegangan bagi orang Minangkabau sejak dahulu sampai sekarang. Tidak mengherankan kalau nama Datuk Katumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang tidak dapat dilupakan oleh orang Minangkabau sepanjang masa.
3. Kerajaan Bukit Batu Patah
1. Kerajaan Pasumayan Koto Batu
Kerajaan ini disebut-sebut dalam Tambo Alam Kerinci  sebagai tempat asal ninik masyarakat Kerinci. Rajanya bernama Sri  Maharajo Dirajo yang merupakan kepala rombongan yang datang ke Pasumayan  Koto Batu, Daerah kekuasaannya di Langgundi Nan Baselo yang masih  diseputar Pasumayan Koto Batu,  istrinya bernama Puti Indo Jalito dan  anaknya bernama Sutan Maharajo Basa yang kemudian bernama Datuk  Katumanggungan. Setelah meninggal dunia Sri Maharajo Dirajo digantikan  oleh Datuk Suri Dirajo.
Semasa pemerintahan Datuk Suri Dirajo  terjadi suatu peristiwa yaitu datang rusa dari laut yang besar sekali  (sebagian menerjemahkannya sebagai peristiwa kedatangan Sang Sapurba).  Atas petunjuk Datuk Suri Dirajo rusa besar tersebut dapat dijerat dan  disembelih. Rakyat beriang-riang dan akhirnya tempat itu bernama  Pariangan. Saat suasana beriang-riang itu Datuk Suri Dirajo menuju pada  suatu tempat dan berdiri pada sebuah batu besar sambil menyandang pedang  panjang. Akhirnya temat itu bernama Padang Panjang. Sebagai wakil raja  di Pariangan diangkat Datuk Bandaro Kayo dan di Padang Panjang diangkek  Datuk Maharajo Basa.
Di Pariangan didirikan sebuah tempat bersidang yang disebut Balai Nan Saruang. Di Balai Nan Saruang inilah segala sesuatu dimusyawarahkan yang berkaitan dengan pemerintahan adat dan kepentingan rakyat.
Semasa Kerajaan Pasumayan Koto Batu berlaku Undang-Undang yang bernama “Undang-Undang Simumbang Jatuah” Undang-undang ini sangat keras dan sebagai contoh siapa yang membunuh akan dibunuh. Apa yang diperintahkan harus dijalankan. Mungkin waktu itu tantangan sangat berat dalam membangun nagari seperti manggaluang taruko sawah ladang. Untuk itu perlu kerja keras dan undang-undang yang tegas pula.
Datuk Suri Dirajo kemudian mengangkat Sutan Maharajo Basa yang bergelar Datuk Katumanggungan dan Sutan Balun yang bergelar Datuk Perpatih Nan Sabatang. Keduanya dianggap oleh orang Minangkabau sebagai pendiri adat Koto Piliang dan Bodi Caniago.
Semasa kerajaan Pasumayan Koto Batu ini adat Minangkabau sudah disusun sedemikian rupa kemudian disempurnakan oleh Datuk Katumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang.
Di Pariangan didirikan sebuah tempat bersidang yang disebut Balai Nan Saruang. Di Balai Nan Saruang inilah segala sesuatu dimusyawarahkan yang berkaitan dengan pemerintahan adat dan kepentingan rakyat.
Semasa Kerajaan Pasumayan Koto Batu berlaku Undang-Undang yang bernama “Undang-Undang Simumbang Jatuah” Undang-undang ini sangat keras dan sebagai contoh siapa yang membunuh akan dibunuh. Apa yang diperintahkan harus dijalankan. Mungkin waktu itu tantangan sangat berat dalam membangun nagari seperti manggaluang taruko sawah ladang. Untuk itu perlu kerja keras dan undang-undang yang tegas pula.
Datuk Suri Dirajo kemudian mengangkat Sutan Maharajo Basa yang bergelar Datuk Katumanggungan dan Sutan Balun yang bergelar Datuk Perpatih Nan Sabatang. Keduanya dianggap oleh orang Minangkabau sebagai pendiri adat Koto Piliang dan Bodi Caniago.
Semasa kerajaan Pasumayan Koto Batu ini adat Minangkabau sudah disusun sedemikian rupa kemudian disempurnakan oleh Datuk Katumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang.
2. Kerajaan Dusun Tuo dan Bungo Satangkai
Setelah Kerajaan Pasumayan Koto Batu  berakhir dengan Rajanya Sri Maharajo Dirajo yang kemudian digantikan  oleh Datuk Suri Dirajo. Maka selanjutnya muncul 2 orang pemimpin yang  bernama Datuk Katumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang.  Sebagaimana dikatakan sebelumnya kedua orang tokoh ini seibu berlainan  bapak.
Datuk Katumanggungan mendirikan Kerajaan Bungo Satangkai di Sungai Tarab dan sebagai yang dipertuan adalah Datuk Banadaro Putiah. Sedangkan datuk Perpatih Nan Sabatang meninggalkan Nagari Pariangan Padang Panjang dan mendirikan Nagari Limo Kaum XII Koto dan IX Koto di Dalam. Didaerah ini yang berdaulat Datuk Perpatih Nan Sabatang sedangkan pemerintahan sehari-hari dilaksanakan oleh Datuk Bandaro Kuning. Yang termasuk Kerajaan Dusun Tuo adalah daerah yang termasuk Lareh Bodi Chaniago adalah Tanjung Nan Tigo dan Lubuak Nan Tigo. Sedangkan Kerjaan Bungo Satangkai meliputi Langgam Nan Tujuh.
Semasa Kerajaan Dusun Tuo dan Bungo Satangkai diadakan perubahan Undang-Undang Simumbang Jatuah dirubah dengan undang-undang Si Lamo-lamo intinya adalah bahwa sesuatu keputusan yang akan diambil diperhitungkan terlebih dahulu masak-masak, melarat dan memanfaatkannya. Hukuman yang telah dijatuhkan belum dapat dilaksanakan tetapi harus diberi tenggang waktu lebih dahulu agar hukuman itu benar-benar menghukum orang yang bersalah.
Yang melaksanakan Undang-undang Si Lamo-lamo adalah Kerajaan Dusun Tuo di bawah pimpinan Datuk Perpatih Nan Sabatang, sedangkan Kerajaan Bungo Setangkai di Bawah pimpinann DatukKatumanggungan tetap bertahan dengan undang-undang Simumbang Jatuah. Akhirnya kedua tokoh ini terjadi perselisihan. Perselisihan ini akhirnya diadakan perdamaian dan ikrar bersama ditandai dengan Batu Batikam. Isi perdamaian bahwa Undang-undang Silamo-lamo berlaku bagi seluruh Minangkabau dan Adat Bodi Chaniago dan Koto Piliang sama-sama berlaku bagi seluruh rakyat Minangkabau.
Selanjutnya terjadi pula perubahan yaitu Undang-undang si Lamo-lamo diganti dengan Undang-undang Tariak Baleh. Sebagai contoh Undang-undang Tariak Baleh ini adalah:
Salah tariak mangumbalikanDatuk Katumanggungan mendirikan Kerajaan Bungo Satangkai di Sungai Tarab dan sebagai yang dipertuan adalah Datuk Banadaro Putiah. Sedangkan datuk Perpatih Nan Sabatang meninggalkan Nagari Pariangan Padang Panjang dan mendirikan Nagari Limo Kaum XII Koto dan IX Koto di Dalam. Didaerah ini yang berdaulat Datuk Perpatih Nan Sabatang sedangkan pemerintahan sehari-hari dilaksanakan oleh Datuk Bandaro Kuning. Yang termasuk Kerajaan Dusun Tuo adalah daerah yang termasuk Lareh Bodi Chaniago adalah Tanjung Nan Tigo dan Lubuak Nan Tigo. Sedangkan Kerjaan Bungo Satangkai meliputi Langgam Nan Tujuh.
Semasa Kerajaan Dusun Tuo dan Bungo Satangkai diadakan perubahan Undang-Undang Simumbang Jatuah dirubah dengan undang-undang Si Lamo-lamo intinya adalah bahwa sesuatu keputusan yang akan diambil diperhitungkan terlebih dahulu masak-masak, melarat dan memanfaatkannya. Hukuman yang telah dijatuhkan belum dapat dilaksanakan tetapi harus diberi tenggang waktu lebih dahulu agar hukuman itu benar-benar menghukum orang yang bersalah.
Yang melaksanakan Undang-undang Si Lamo-lamo adalah Kerajaan Dusun Tuo di bawah pimpinan Datuk Perpatih Nan Sabatang, sedangkan Kerajaan Bungo Setangkai di Bawah pimpinann DatukKatumanggungan tetap bertahan dengan undang-undang Simumbang Jatuah. Akhirnya kedua tokoh ini terjadi perselisihan. Perselisihan ini akhirnya diadakan perdamaian dan ikrar bersama ditandai dengan Batu Batikam. Isi perdamaian bahwa Undang-undang Silamo-lamo berlaku bagi seluruh Minangkabau dan Adat Bodi Chaniago dan Koto Piliang sama-sama berlaku bagi seluruh rakyat Minangkabau.
Selanjutnya terjadi pula perubahan yaitu Undang-undang si Lamo-lamo diganti dengan Undang-undang Tariak Baleh. Sebagai contoh Undang-undang Tariak Baleh ini adalah:
Salah cotok malantiangkan
Salah makan mamuntahkan
Artinya kesalahan yang diperbuat seseorang dapat diuperbaikinya kembali sebelum hukuman dijatuhkan kepadanya. Akhirnya undang-undang Tariak Baleh ini terjadi lagi perubahan yaitu Undang-Undang Duo Puluah yang diberlakukan di seluruh Minangkabau baik di Lareh Koto Piliang maupun Lareh Bodi Caniago yang mana sampai sekarang masih berfungsi sebagai hukum adat di nagari-nagari pada saat sekarang.
Yang dapat kita ambil kesimpulan adalah bahwa semasa Datuk Katumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang betul-betul telah mereka susun adat Minangkabau yang nenjadi pegangan bagi orang Minangkabau sejak dahulu sampai sekarang. Tidak mengherankan kalau nama Datuk Katumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang tidak dapat dilupakan oleh orang Minangkabau sepanjang masa.
3. Kerajaan Bukit Batu Patah
Kerajaan Bukit Batu Patah didirikan oleh  seseorang Datuk yang bertapa di Bukit Patah. Ini masih ada hubungan  keluarga dengan.Yang Dipertuan Bungo Satangkai. Nama Datuk ini adalah  Sutan Nun Alam. Di Bukit Batu Patah ini sampai sekarang masih terdapat  Luak Nan Tigo, tempat bertapa dilereng Gunung Bungsu di belakang istana  Pagaruyung sekarang. Pada masa kerajaan Bukit Batu Patah ini Luak Nan  Tigo sudah dapat disatukan dalam masalah adat dan pemerintahan. Sudah  dibentuk Rajo Nan Duo Selo dan Basa Ampek Balai.
Rajo Duo Selo tersebut adalah Rajo Alam yang berkedudukan di Bukit Batu Patah dan Rajo Adat berkedudukan di Bungo Satangkai.
Basa Ampek Balai adalah :
Rajo Duo Selo tersebut adalah Rajo Alam yang berkedudukan di Bukit Batu Patah dan Rajo Adat berkedudukan di Bungo Satangkai.
Basa Ampek Balai adalah :
- Datuk Bandaro Putiah sebagai Pamuncak di Sungai Tarab
 - Indomo di Saruaso sebagai Payuang Panji
 - Makhudum di Sumanik sebagai Aluang Bunian
 - Tuan Gadang di Batipuh sebagai Harimau Campo
 
Yang dipertuan Nun Alam digantikan oleh  Run Pitualo dan menurut riawayatnya tidak lama pula memerintah di Bukit  Batu Patah. Raja ketiga adalah Maharajo Indo dan semasa pemerintahannya  pusat kerajaannya dipindahkannya ke kaki Bukit Batu Patah atau di daerah  nagari Pagaruyung sekarang. Semasa pemerintahan Maharajo Indo agama  Islam sudah masuk ke Minangkabau dari daerah Minangkabau timur.
Maharajo Indo kemudian digantikan oleh Yang Dipertuan Sati. Semasa pemerintahannya Rajo Nan Duo Selo dilengkapi menjadi Rajo Nan Tigo Selo dan Basa Ampek Balai dengan ada perubahan setelah masuk agama Islam. Rajo Alam bersemayam di Balai Gudam, Rajo Ibadat bersemayam di Balai Bungo dan Rajo Adat bersemayam di Balai Janggo. Pada masa itu Basa Ampek Balai adalah :
Maharajo Indo kemudian digantikan oleh Yang Dipertuan Sati. Semasa pemerintahannya Rajo Nan Duo Selo dilengkapi menjadi Rajo Nan Tigo Selo dan Basa Ampek Balai dengan ada perubahan setelah masuk agama Islam. Rajo Alam bersemayam di Balai Gudam, Rajo Ibadat bersemayam di Balai Bungo dan Rajo Adat bersemayam di Balai Janggo. Pada masa itu Basa Ampek Balai adalah :
- Tuan Titah (Panitahan) di Sungai Tarab sebagai Pamuncak yang berfungsi sebagai Menteri Dalam Negeri
 - Makhudum di Sumanik sebagai Aluang Bunian atau Menteri Keuangan
 - Indomo di Saruaso sebagai Payung Panji atau Menteri Kesejahteraan
 - Tuan Kadi di Padang Ganting sebagai suluh bendang yang berfungsi sebagai Menteri Agama dan Penerangan
 
Sedangkan Tuan Gadang di Batipuh sebagai penanggung jawab di bidang keamanan.
Sumber :
 

