Share
UNTUK apa Taufiq Ismail menulis puisi? Jika ada yang bertanya seperti itu, ia akan membaca puisi, yang telah digubah jadi lagu oleh Bimbo: Dengan puisi, aku bernyanyi/Dengan puisi, aku bercinta/....Dengan puisi, aku berdoa/Perkenankanlah kiranya. Lalu penyair penerima SEA Awards itu lebih menegaskannya: "Saya merasa, melalui puisi saya menemukan cara ekspresi diri yang sesuai
Taufiq Ismail
UNTUK apa Taufiq Ismail menulis puisi? Jika ada yang bertanya seperti itu, ia akan membaca puisi, yang telah digubah jadi lagu oleh Bimbo: Dengan puisi, aku bernyanyi/Dengan puisi, aku bercinta/....Dengan puisi, aku berdoa/Perkenankanlah kiranya. Lalu penyair penerima SEA Awards itu lebih menegaskannya: "Saya merasa, melalui puisi saya menemukan cara ekspresi diri yang sesuai."
Ciri puisinya naratif dan religius. Gaya naratif ini, menurut Taufiq, lantaran sewaktu SMP di Bukittinggi ia suka mendengarkan seorang bercerita dalam bahasa Minang berbentuk narasi. Juga karena ia suka puisi Adrian Henri, Robert Frost, Blaise Cendrars, yang bergaya naratif. Tentang ciri religius, "Saya merasa lebih dekat dengan Allah bila bersajak." Lagi pula, keluarganya taat beragama. Ayahnya, K.H. Abdul Gaffar Ismail-pejuang yang diusir dari Minangkabau oleh Belanda-adalah ulama yang berpengaruh di Pekalongan, tempat pria kelahiran Bukittinggi ini dibesarkan.
Jadi sastrawan memang cita-cita Taufiq sejak masih SMA di Pekalongan, Jawa Tengah. Ketika itu sajak-sajaknya sudah dimuat di majalah Mimbar Indonesia dan Kisah. Tumbuh di lingkungan keluarga yang suka membaca, Taufiq jadi suka membaca pula. Apalagi Taufiq pernah jadi penjaga perpustakaan Pelajar Islam Indonesia Pekalongan, sehingga ia leluasa melahap karya Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer, sampai William Saroyan dan Karl May. "Di belakang hari, saya menemukan fakta bahwa kebiasaan membaca ini menyebabkan saya mudah menulis," ujar pria yang di kala senggangnya tak cuma membaca buku sastra tetapi juga sejarah, politik, dan agama, ini.
Kecintaannya pada sastra makin tumbuh tatkala sekolah di SMA Whitefish Bay di Milwaukee, Wisconsin, AS-berkat beasiswa program pertukaran pelajar American Field Service International Scholarship. Di sana ia mengenal akrab karya Robert Frost, Edgar Allan Poe, Walt Whitman. Ia suka novel Hemingway The Old Man and The Sea dan karya tulis menjelang tamat sekolah mengenai novel itu.
Untuk menafkahi cita-cita kesusastraannya, selulus SMA Taufiq menentukan profesi lain yang bisa mengamankan urusan dapur. Ia kuliah di Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan Universitas Indonesia, kala itu di Bogor, dan lulus 1963. Walau keinginannya jadi pengusaha peternakan tak dikabulkan Tuhan, ia bisa menafkahi karir kepenyairannya dengan bekerja di PT Unilever Indonesia.
Taufiq sudah menerbitkan sejumlah buku kumpulan puisi, selain kerap membaca puisi di festival, antara lain Festival Puisi Internasional di Rotterdam, Belanda, 1970-an, kemudian berkeliling di lima benua. Ketika usai membaca puisi Syekh Yusuf di Cape Town, Afrika Selatan, di hadapan warga Afrika keturunan Indonesia, ia dipeluk orang, "Sehingga jenggot dan kumis orang itu membuat saya geli setengah mati," tutur penyair yang sejumlah puisinya dijadikan lagu oleh kelompok musik Bimbo ini.
Sekarang, bersama sejumlah sastrawan lain, Taufik memasyarakatkan sastra ke sekolah-sekolah melalui program "Siswa Bertanya, Sastrawan Menjawab". Kegiatan ini disponsori Yayasan Indonesia dan Ford Foundation.
Menikah pada tahun 1971 dengan Esiyati-sahabat adiknya- pasangan ini dikaruniai satu anak. "Istri saya sangat berperan dalam karir saya. Dia sangat memahami profesi saya, cita-cita seorang sastrawan, emosi sastrawan, bagaimana impuls-impuls seorang sastrawan," ujar Taufiq. Soal pilihan cita-cita anaknya, yang tidak mengarah ke sastra, Taufiq tak campur tangan
Biografi
Nama :
Taufiq Ismail
Lahir :
Bukittinggi, 25 Juni 1935
Agama :
Islam
Pendidikan :
- Sekolah Rakyat di Semarang
- SMP di Bukittinggi, Sumatera Barat
- SMA di Pekalongan, Jawa Tengah
- SMA Whitefish Bay di Milwaukee, Wisconsin, AS
- Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan UI, Bogor, 1963
Karir :
- Redaktur Senior Horison dan kolumnis (1966-sekarang)
- Wakil General Manager Taman Ismail Marzuki (1973)
- Ketua Lembaga Pendidikan dan Kesenian Jakarta (1973-1977)
- Penyair, penerjemah (1978-sekarang)
Kegiatan Lain :
- Dosen Institut Pertanian Bogor (1962-1965)
- Dosen Fakultas Psikologi UI (1967)
- Sekretaris DPH-DKI (1970-1971)
- Manager Hubungan Luar PT Unilever Indonesia (1978-sekarang)
- Ketua Umum Lembaga Kesenian Alam Minangkabau (1985-sekarang)
Karya :
- Tirani (1966)
- Benteng (1966)
- Puisi-Puisi Sepi (1970)
- Kota Pelabuhan (1971)
- Ladang Jagung (1974)
- Prahara Budaya; Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia (1998)
Penghargaan :
- Anugerah Seni (1974) - SEA Write Award (1997)
Keluarga :
Ayah : K.H. Abdul Gaffar Ismail (almarhum) Ibu : Timur M. Nur Istri : Esiyati Ismail (Ati) Anak : Abraham Ismail
Alamat Rumah :
Jalan Utan Kayu Raya No. 66 E, Jakarta Timur 13120 Telepon (021)8504959, 881190
Sumber : www.pdat.co.id
UNTUK apa Taufiq Ismail menulis puisi? Jika ada yang bertanya seperti itu, ia akan membaca puisi, yang telah digubah jadi lagu oleh Bimbo: Dengan puisi, aku bernyanyi/Dengan puisi, aku bercinta/....Dengan puisi, aku berdoa/Perkenankanlah kiranya. Lalu penyair penerima SEA Awards itu lebih menegaskannya: "Saya merasa, melalui puisi saya menemukan cara ekspresi diri yang sesuai
Taufiq Ismail
UNTUK apa Taufiq Ismail menulis puisi? Jika ada yang bertanya seperti itu, ia akan membaca puisi, yang telah digubah jadi lagu oleh Bimbo: Dengan puisi, aku bernyanyi/Dengan puisi, aku bercinta/....Dengan puisi, aku berdoa/Perkenankanlah kiranya. Lalu penyair penerima SEA Awards itu lebih menegaskannya: "Saya merasa, melalui puisi saya menemukan cara ekspresi diri yang sesuai."
Ciri puisinya naratif dan religius. Gaya naratif ini, menurut Taufiq, lantaran sewaktu SMP di Bukittinggi ia suka mendengarkan seorang bercerita dalam bahasa Minang berbentuk narasi. Juga karena ia suka puisi Adrian Henri, Robert Frost, Blaise Cendrars, yang bergaya naratif. Tentang ciri religius, "Saya merasa lebih dekat dengan Allah bila bersajak." Lagi pula, keluarganya taat beragama. Ayahnya, K.H. Abdul Gaffar Ismail-pejuang yang diusir dari Minangkabau oleh Belanda-adalah ulama yang berpengaruh di Pekalongan, tempat pria kelahiran Bukittinggi ini dibesarkan.
Jadi sastrawan memang cita-cita Taufiq sejak masih SMA di Pekalongan, Jawa Tengah. Ketika itu sajak-sajaknya sudah dimuat di majalah Mimbar Indonesia dan Kisah. Tumbuh di lingkungan keluarga yang suka membaca, Taufiq jadi suka membaca pula. Apalagi Taufiq pernah jadi penjaga perpustakaan Pelajar Islam Indonesia Pekalongan, sehingga ia leluasa melahap karya Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer, sampai William Saroyan dan Karl May. "Di belakang hari, saya menemukan fakta bahwa kebiasaan membaca ini menyebabkan saya mudah menulis," ujar pria yang di kala senggangnya tak cuma membaca buku sastra tetapi juga sejarah, politik, dan agama, ini.
Kecintaannya pada sastra makin tumbuh tatkala sekolah di SMA Whitefish Bay di Milwaukee, Wisconsin, AS-berkat beasiswa program pertukaran pelajar American Field Service International Scholarship. Di sana ia mengenal akrab karya Robert Frost, Edgar Allan Poe, Walt Whitman. Ia suka novel Hemingway The Old Man and The Sea dan karya tulis menjelang tamat sekolah mengenai novel itu.
Untuk menafkahi cita-cita kesusastraannya, selulus SMA Taufiq menentukan profesi lain yang bisa mengamankan urusan dapur. Ia kuliah di Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan Universitas Indonesia, kala itu di Bogor, dan lulus 1963. Walau keinginannya jadi pengusaha peternakan tak dikabulkan Tuhan, ia bisa menafkahi karir kepenyairannya dengan bekerja di PT Unilever Indonesia.
Taufiq sudah menerbitkan sejumlah buku kumpulan puisi, selain kerap membaca puisi di festival, antara lain Festival Puisi Internasional di Rotterdam, Belanda, 1970-an, kemudian berkeliling di lima benua. Ketika usai membaca puisi Syekh Yusuf di Cape Town, Afrika Selatan, di hadapan warga Afrika keturunan Indonesia, ia dipeluk orang, "Sehingga jenggot dan kumis orang itu membuat saya geli setengah mati," tutur penyair yang sejumlah puisinya dijadikan lagu oleh kelompok musik Bimbo ini.
Sekarang, bersama sejumlah sastrawan lain, Taufik memasyarakatkan sastra ke sekolah-sekolah melalui program "Siswa Bertanya, Sastrawan Menjawab". Kegiatan ini disponsori Yayasan Indonesia dan Ford Foundation.
Menikah pada tahun 1971 dengan Esiyati-sahabat adiknya- pasangan ini dikaruniai satu anak. "Istri saya sangat berperan dalam karir saya. Dia sangat memahami profesi saya, cita-cita seorang sastrawan, emosi sastrawan, bagaimana impuls-impuls seorang sastrawan," ujar Taufiq. Soal pilihan cita-cita anaknya, yang tidak mengarah ke sastra, Taufiq tak campur tangan
Biografi
Nama :
Taufiq Ismail
Lahir :
Bukittinggi, 25 Juni 1935
Agama :
Islam
Pendidikan :
- Sekolah Rakyat di Semarang
- SMP di Bukittinggi, Sumatera Barat
- SMA di Pekalongan, Jawa Tengah
- SMA Whitefish Bay di Milwaukee, Wisconsin, AS
- Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan UI, Bogor, 1963
Karir :
- Redaktur Senior Horison dan kolumnis (1966-sekarang)
- Wakil General Manager Taman Ismail Marzuki (1973)
- Ketua Lembaga Pendidikan dan Kesenian Jakarta (1973-1977)
- Penyair, penerjemah (1978-sekarang)
Kegiatan Lain :
- Dosen Institut Pertanian Bogor (1962-1965)
- Dosen Fakultas Psikologi UI (1967)
- Sekretaris DPH-DKI (1970-1971)
- Manager Hubungan Luar PT Unilever Indonesia (1978-sekarang)
- Ketua Umum Lembaga Kesenian Alam Minangkabau (1985-sekarang)
Karya :
- Tirani (1966)
- Benteng (1966)
- Puisi-Puisi Sepi (1970)
- Kota Pelabuhan (1971)
- Ladang Jagung (1974)
- Prahara Budaya; Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia (1998)
Penghargaan :
- Anugerah Seni (1974) - SEA Write Award (1997)
Keluarga :
Ayah : K.H. Abdul Gaffar Ismail (almarhum) Ibu : Timur M. Nur Istri : Esiyati Ismail (Ati) Anak : Abraham Ismail
Alamat Rumah :
Jalan Utan Kayu Raya No. 66 E, Jakarta Timur 13120 Telepon (021)8504959, 881190
Sumber : www.pdat.co.id